DAFTAR PUISI DAN PETUNJUK TAMBAHAN UNTUK LOMBA BACA PUISI IB 2014

Untuk mengunduh file klik Link di bawah ini:
DAFTAR PUISI IB 2014



Petunjuk Tambahan:
1.      Peserta lomba baca puisi diwajibkan datang pukul 07.00 untuk melakukan daftar ulang kepada panitia
2.      Saat melakukan daftar ulang peserta diwajibkan untuk menyetor judul puisi yang akan dibacakan
3.      Syair puisi yang dijadikan patokan juri adalah syair puisi yang berasal dari panitia


Narahubung:
Ida Fitriyah                 085865054005
Laily Nur Zahrina       085876502792



PERJALANAN KUBUR
Karya Sutardji Calzoum Bachri
Luka ngucap dalam badan
Kau telah membawaku ke atas bukit
Ke atas karang ke atas gunung
Ke bintang-bintang
Lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku
Untuk kuburmu alina

Untuk kuburmu alina
Aku menggali-gali dalam diri
Raja dalam darah mengaliri sungai-sungai

mengibarkan bendera hitam
Menyeka matahari membujuk bulan
Teguk tangismu alina

Sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur
Laut pergi ke awan membawa kubur-kubur
Awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur
Hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga
Membawa kuburmu alina






ZIARAH
Karya Sapardi Djoko Damono
Kita berjingkat lewat jalan kecil ini
Dengan kaki telanjang: kita berziarah
Ke kubur orang-orang yang telah melahirkan kita
Jangan sampai terjaga mereka!
Kita tak membawa apa-apa. Kita
Tak membawa kemenyan atau pun bunga-bunga
Kecuali seberkas rencana-rencana kecil
(yang senantiasa tertunda-tunda ) untuk
Kita sumbangkan kepada mereka.
Apakah akan kita jumpai wajah-wajah bengis,
Atau tulang belulang, atau sisa-sisa jasad mereka,
Ibu-bapa kita yang mendongeng
Tentang tokoh-tokoh itu, nenek moyang kita itu,
Tanpa menyebut-nyebut nama
Mereka hanyalah mimpi-mimpi kita,
Kenangan yang membuat kita merasa
Pernah ada
Kita berziarah, berjingkatlah sesampai
Di ujung jalan kecil ini,
Sebuah lapangan terbuka
Batang-batang cemara
Angin
Tak ada bau kemenyan tak ada bunga-bunga
Mereka lelah tidur sejak abad pertama,
Semenjak hari pertama itu,
Tak ada tulang belulang tak ada sisa-sisa jasad mereka
Ibu bapa kita sungguh bijaksana, terjebak
Kita dalam dongengan nina bobok
Di tangan kita bekas-bekas rencana
Di atas kepala
Sang Surya.





















NYANYIAN KEMERDEKAAN
Karya Ahmadun Yosi Herfanda
hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
di antara pahit-manisnya isi dunia
akankah kaubiarkan aku duduk berduka
memandang saudaraku, bunda tercintaku
dipasung orang asing itu?
mulutnya yang kelu
tak mampu lagi menyebut namamu

Berabad-abad kau terlelap
Bagai laut kehilangan ombak
Atau burung-burung yang semula
Bebas di hutannya
Digiring ke sangkar-sangkar
Tak bebas mengucapkan kicaunya

Hanya kau yang kupilih
Darah dan degup jantungmu
Hanya kau yang kupilih
Di antara pahit-manisnya isi dunia

Orang asing itu berabad-abad
Memujamu di negrinya
Namun di negriku
Mereka berikan belengu-belenggu
Maka bangkitlah Sutomo
Bangkitlah Wahidin Sudirohusodo
Bangkitlah Ki Hajar Dewantara
Bangkitlah Soekarno-Hatta
Bangkitlah semua dada yang terluka

-- Bergenggam tanganlah dengan saudaramu
Eratkan genggaman tangan itu atas namaku
Kekuatan akan memancar dari genggaman itu
Suaramu sayup di udara
Membangunkanku dari mimpi siang yang celaka
Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
Di antara pahit-manisnya isi dunia
Berikan degup jantungmu
Otot-otot dan derap langkahmu
Biar kuterjang pintu-pintu terkunci itu
Dan mendobraknya atas namamu

Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
Di antara pahit-manisnya isi dunia!
















TEMBANG DI ATAS PERAHU
Karya Dorothea Rosa Herliany
seperti di atas perahu kecil sendirian
aku terombang-ambing ombak kecil dalam tubuhku
jika aku terlelap, kumimpikan pangeran dengan jubah berderai
dan rambut mengurai beribu kalimat dengusnya yang dusta.
kulihat pancuran dari pedangnya yang panjang dan gagah.
kutiup terompet gairahku dalam tetembangan dari tanah jauh.
alangkah ngelangut. alangkah deras rindu tanpa alamat.
alangkah sunyi dan palsu impian.

seperti di atas perahu kecil sendirian
aku terjaga. tak teratur napasku. mencari beribu nama
dan alamat. dalam berjuta situs dan bermiliar virus. berbaris
cerita cabul pesan-pesan asmara yang memualkan.

aku sendirian, seperti lukisan perempuan di depan jendela
: memandang laut biru di batas langit. sambil membendung
badai dan ombak yang mengikis karangkarang.












PUISI JALANAN
Karya Emha Ainun Najib
Hendaklah puisiku ini lahir dari jalanan
Dari desah nafas para pengemis gelandangan
Jangan dari gedung-gedung besar
Dari lampu gemerlap

Para pengemis yang lapar
Langsung menjadi milik Tuhan
Sebab rintihan mereka
Tak lagi bisa mengharukan

Para pengemis menyeret langkahnya
Para pengemis batuk-batuk
Darah dan hatinya menggumpal
Luka jiwanya amat dalam mengental

Hendaklah puisiku anyir
Seperti bau mulut mereka
Yang terdampar di trotoar
Yang terusir dan terkapar
Para pengemis tak ikut memiliki kehidupan
Mereka mengintai nasib orang yang dijumpainya
Tetapi jaman telah kebal
Terhadap derita mereka yang kekal

Hendaklah puisi-puisiku
Bisa menjadi persembahan yang menolongku
Agar mereka menerimaku menjadi sahabat
Dan memaafkan segala kelalaianku

Yang banyak dilupakan orang ialah Tuhan
Para gelandangan dan korban-korban kehidupan
Aku ingin jadi karib mereka
Agar bisa belajar tentang segala yang fana



























WAJAH KITA
Karya Hamid Jabbar
Bila kita selalu berkaca setiap saat
Dan di setiap tempat
Maka tergambarlah:
Alangkah bermacamnya
Wajah kita
Yang berderet bagai patung
Di toko mainan di jalan braga:
Wajah kita adalah wajah bulan
Yang purnama dan coreng-moreng
Serta gradakan dan bopeng-bopeng
Wajah kita adalah wajah manusia
Yang bukan lagi manusia
Dan terbenam dalam wayang
Wajah kita adalah wajah rupawan
Yang bersolek menghias lembaran
Kitab suci dan kitab undang-undang
Wajah kita adalah wajah politisi
Yang mengepalkan tangan bersikutan
Menebalkan muka meraih kedudukan
Wajah kita adalah wajah setan
Yang menari bagai bidadari
Merayu kita menyatu onani

Bila kita selalu berkaca
Yang buram tak sempurna
Maka tergambarlah
Alangkah
Wajah kita
Yang terkadang bagai binatang
Di kota di taman margasatwa
Wajah kita adalah wajah srigala
Yang mengaum menerkam mangsanya
Dengan buas, lahap dan gairahnya
Wajah kita adalah wajah anjing
Yang mengejar bangkai dan kotoran
Di tong sampah dan selokan-selokan
























ISYARAT MAGHRIB
Karya Iman Budhi Santoso
Menyaksikan langit merayap jingga
masjid-masjid menyala, bersuara
daun pohon merunduk luruh
burung menyimpan sayap serta paruh
debu mengendap. Belukar semakin lindap
mata dan hati rindu berkejaran
menikmati bulan di bubungan atap

Lupakanlah esok masih jauh
malam baru akan tertanam
belum jelas bunga atau tuba
terpanen di akhir cerita

Lupakan kini saatnya bersuci
membasuh kaki, membersihkan tangan?
Ribuan kesempatan tak mungkin berulang
sebelum dilaporkan, dipertanggungjawabkan
Rinci dan memuaskan

Lupakah sunyi waktunya menguji
Doa yang kita miliki. Dan Maghrib
isyarat perjalanan gaib
menuju Tuhan. Menyiapkan malam
bukan sebuah perjalanan merantau
ke lembah hitam menakutkan.




SAJAK SEORANG PRAJURIT
Karya Suminto A. Sayuti
(seorang prajurit telah meninggalkan pabarisan
sebab sebuah keyakinan bersarang di kalbunya:
orang tak harus menang

palagan ditinggalkan
terompet perang tak didengarkan
gendawa ditinggalkan
busur dipatahkan).


ya, akulah seorang prajurit yang lolos
dan mencoba lolos dari kuruserta
menjadi seonggok sajak yang tersesat
di pinggir belantara.

yang mencatat aum serigala
yang mencatat cericit burung di belukar
yang basah oleh embun
yang kering oleh matahari
yang terjun dalam jeram
yang tersesat dalam ruang tata warna.

telah kutinggalkan palagan
sebab palagan sebenarnya ada dalam badan
telah kutanggalkan gendawa sebab gendawa
sebenarnya hati tanpa wasangka
telah kupatahkan busur
sebab busur sebenarnya keberanian tak pernah luntur.

akulah prajurit yang telah terpisah dari pabarisan
dan menciptakan medan dalam sanubari
Pandawa-korawa dalam daging-daging berduri
Krisna dalam samadi
kemenangan dalam angan-angan
panah, kereta, tombak,
kuda, darah, strategi, tulang, singgasana,
Sejarah...
dalam diri

akulah prajurit dengan sejuta tombak tertancap
yang lolos dari genangan darah, tonggak-tonggak tulang
kerikil gigi, ganggang rambut, panji-panji perang.
akulah prajurit bersimbah darah
yang menyusun jitapsara dengan tinta kehidupan
duduk sendiri di pinggir hutan.

akulah prajurit pewaris tahta kerajaan
yang tersenyum pada langit dan bumi
dengan senandung air mengalir

irama ganggang tak kenal akhir

akulah prajurit yang diharapkan
dapat mematahkan lawan
dengan telak dalam satu kali gempuran

ya, akulah yang banyak berharap dan diharapkan
sehabis usia lunas di sini:
perempuan-perempuan desa
tak lagi menjadi buruh-buruh industri kota
tak lagi membanjiri lokal-lokal prostitusi
untuk sekadar mempertahankan hidupnya
para petani tak lagi berpikir
dan bertanya-tanya
besok pagi kita makan apa

para penguasa
tak lagi berorientasi pada status,
jabatan, kursi, kewenangan,
dan sejengkal perut
dan bakal terlahir atas nama sukmamu
seorang pembela kawula yang celaka dan tertindas
dari denyut ke denyut, dari waktu ke waktu

akulah seorang prajurit yang terluka
dan lari dari medan pebarisan
tapi, luka itu tak lagi berdarah
dan menyiksa Cinta berbunga
kapan usia mengain: aku hanya seorang manusia









DIALOG BUKIT KAMBOJA
D. Zawawi Imron

Inilah  ziarah di tengah nisan nisan tengadah
Di bukit serba kamboja matahari dan langit lelah

Seorang nenek, pandangnya tua memuat jarum cemburu
Menanyakan, mengapa aku berdoa di kubur itu

“Aku anak almarhum “ , Jawabku dengan suara gelas jatuh
Pipi keriput itu menyimpan bekas sayatan waktu

“Lewat berpuluh kemarau telah kuberikan kubur didepan mu
Karena kuanggap kubur anakku”

Hening merangkak lambat bagai langkah siput
Tanpa sebuah sebab senyumnya lalu merekah
Seperti puisi mekar pada lembar bunga basah

“Anakku mati di medan laga, dahulu
Saat Bung Tomo mengippas bendera dengan takbir
Berita ini kekal jadi sejarah: Surabaya pijar merah
Ketika itu sebuah lagu jadi agung dalam derap
Bahkan pada bercak darah yang hampir lenyap”

Jauh dilembah membias rasa syukur
Pada hijau lading sayur, karena laut bebas debur

“Aku telah lelah mencari kuburnya dari sana kemana
Tak ketemu. Tak ada yang tahu
Sedang aku ingin ziarah menyampaikan  terima kasih
Atas gugurnya : mati yang direnungkan melati
Kubur ini memadailah, untuk mewakilinya”

“ Tapi ayahku sepi Pahlawan
Tutur orang terdekat , saat ia wafat
Jasadnya hanya satu tingkat di atas ngengat
Tapi ia tetap ayahku. Tapi ia bukan anakmu”

“ Apa salahnya kalau sesekali
Kubur ayahmu kujadikan alamat rindu
Dengan ziarah, oleh harum kamboja yang berat

Gemuruh dendamku kepada musuh jadi luruh”

Sore berangkat ke dalam remang
Ke kelopak kelelawar

“ Hormatku padamu, nenek ! karena engkau
Menyimpan rahasia wangi tanahku, tolong
Beri aku apa saja kata atau senjata !”

“Aku orang tak bisa memberi, padamu bisaku Cuma meminta.
Jika engkau bambu, jadilah saja bambu runcing
Jangan sembilu, atau yang membungkuk depan sembilu

Kelam mendesak kami berkisah. Di hati tidak
Anginpun tiba dari tenggara . Daun-daun dan bunga ilalang
Memperdengarkan gamelan doa
Memacu roh agar aku tidak jijik menyeka nanah
Pada anak-anak desa dibawah
Untuk sebuah hormat
Sebuah cinta yang senapas dengan bendera
Tidak sekadar untuk sebuah malu.





























SAJAK UNTUK PELUKIS OMBAKKU
Karya D. Kemalawati
apakah artinya sajakku ini
ketika ombak yang kau lukiskan di kanvas biru
tak lagi mendamaikan hatiku
buihnya tak putih lagi membelai tepian
ia telah murka
tubuhnya yang jenjang menyentuh langit
menerkam apa saja

apakah pagi itu engkau masih membedaki
punggung suamimu
yang lelah berbaring seharian
memandikan si kecilmu
sambil mencandai keningnya yang lucu
atau sedang menyisir rambut keriting gadismu yang ayu

apakah arti sajakku ini
ketika aku tak bisa menerka
di belantara mana jasadmu kini
engkaukah yang masih terbaring
di antara tubuh legam, kaku dan kesepian
terjepit di antara puing-puing reruntuhan

engkaukah itu yang dibalut kantong-kantong hitam
ditumpuki di pinggir-pinggir jalan
tanpa air terakhir dan kain kafan
engkaukah itu yang hanya diantar relawan
ke liang-liang panjang pekuburan
tanpa kutemukan batu nisan

kepada siapa lagi kutawarkan sajakku
agar menjadi talenta dalam geliat warna
memaknai langkah kaki telanjang ini
aku lelah menyusuri lorong-lorong hampa
mencari jejak rumahmu
menemukan lukisan-lukisan di dindingnya
atau memungut kuas kecil
saat kau lukiskan ombak itu

aku kini hanya bisa memandang ombakku
dalam lukisanmu
dalam ikhlas zikirku, tahlilku, tahmidku
kumohonkan pada-Mu ya Allah
sucikan jasad saudara-saudaraku
yang pulang dalam gemuruh ombak-Mu
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Juklak Juknis Lomba Pidato Semarak Indonesia 2015

Juklak Juknis Lomba Mendongeng Semarak Indonesia 2015